REVITALISASI KARAKTER GURU MENURUT FILOSOFIS JAWA: SEBUAH GAGASAN MENGEMBANGKAN KEPRIBADIAN SISWA

A. Pendahuluan
Pandangan masyarakat Jawa tradisional, secara sosio-kultural guru
merupakan suatu profesi yang terhormat. Hal ini terungkap dari kata “guru” yang
dalam Bahasa Jawa menurut kerata basa atau jarwa dhosok merupakan
kependekan dari digugu lan ditiru yang berarti dianut dan dicontoh
(Ranggawarsita, 1954). Bertolak dari kerata basa itu, maka guru merupakan
pribadi dan profesi yang dihormati dalam masyarakat Jawa tradisional. Mereka
menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat karena memiliki keahlian,
kemampuan, dan perilaku yang pantas untuk dijadikan teladan. Oleh karena itu,
untuk menjadi guru seseorang harus memenuhi sejumlah kriteria untuk memenuhi
gambaran ideal dari masyarakat Jawa tradisional itu. Pandangan masyarakat Jawa
tradisional tentang guru seperti disebutkan di atas, tentunya juga terdapat pada
kelompok etnik yang lain di Indonesia. Dengan kata lain, sebenarnya pandangan masyarakat Indonesia terhadap profesi guru terrepresentasi dari pandangan
masyarakat Jawa tradisional itu.
Guru adalah pribadi dan profesi yang terhormat dalam masyarakat
Indonesia. Pada masa sekarang (modern) pandangan sosio-kultural terhadap guru
mengalami pergeseran, tetapi profesi guru masih dianggap terhormat dan mulia di
hadapan masyarakat, karena guru merupakan garda depan dalam pencapaian
tujuan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Gurulah yang
“menciptakan” orang-orang cerdik pandai yang diantaranya telah menjadi guru
bangsa ini. Oleh karena memiliki kedudukan dan peranan yang strategis dalam
pembangunan nasional bidang pendidikan khususnya dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa, tidak berbeda dengan pada masa tradisional, dengan bahasa
dan istilah yang lain pada masa sekarang ini guru dituntut untuk memiliki
kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme.
Sehingga peran guru dalam mengembangkan kepribadian siswa sangatlah
nampak. Disinilah perlu adanya keteladanan pada pribadi guru itu sendiri, yang
ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah atau
masyarakat, dilihat siswa atau tidak, guru tetap menampilkan kepribadian yang
anggun. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru pada dasarnya memiliki satu
tujuan yaitu mencetak dan mengarahkan siswa supaya jadi orang yang baik,
berkepribadian baik, dan cerdas. Hal ini dipertegas oleh Gunawan (2011:32)
yang berpendapat bahwa guru melalui kegiatan pembelajaran diharapkan
menggabungkan keseluruhan potensi otak peserta didik sehingga membentuk
kebermaknaan (God Spot). Segenap potensi tersebut secara fitrah dianugerahkan
Tuhan kepada manusia dalam kedudukannya sebagai insan, manusia seutuhnya,
dengan seluruh totalitasnya, jiwa, dan raga. Pendidikan perlu terus ditingkatkan,
dioptimalkan, dan masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Sehingga perlu
adanya perubahan dalam pemikiran para pendidik yang cenderung pada transfer
pengetahuan belaka. Pendidikan pada akhirnya dapat kembali pada fitrahnya,
yang memanusiakan manusia dalam kedudukannya sebagai insan.
Jika guru memiliki kepribadian baik, memiliki kasih sayang terhadap
siswa, ketenangan hati, maka menjadi seorang guru yang dirindukan oleh siswasiswanya
(Khalifah dan Quthub, 2009: 35). Guru yang dicintai adalah sosok yang menerima dengan tulus dan berbahagia – sebelum segala sesuatu – sebagai
manusia. Hal ini akan menjadikan guru lebih bisa memahami siswa-siswanya dan
berinteraksi baik dengan siswa. Guru yang dicintai adalah seorang guru yang
memiliki sifat ramah dalam berinteraksi kepada sesama, memahami orang lain,
menghormati tanggung jawab, disiplin dalam sikap dan tugas-tugasnya, dan
mampu berinisiatif dan inovatif. Siswa yang berkepribadian baik diajar oleh guru
yang berkepribadian baik pula. Siswa yang memiliki kepribadian kurang baik
berubah menjadi baik dan sukses, sebaliknya siswa memiliki kepribadian baik
tiba-tiba berubah menjadi kurang baik. Baik atau buruknya kepribadian siswa
dipengaruhi oleh kepribadian guru. Sehingga sebelum menuntut siswa berkarakter
baik, maka perlu mengembangkan karakter baik pada guru.

B. Pembahasan
1. Karakter Guru menurut Filosofis Jawa
Kearifan lokal didefinisikan sebagai sintesis budaya yang diciptakan oleh
aktor-aktor lokal melalui proses yang berulang-ulang, melalui internalisasi, dan
interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk normanorma
dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat.
Kearifan lokal merupakan gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat,
tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat dari
yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai dengan yang profan
(bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja). Kearifan lokal bukan
pada fokus budaya regional (kabupaten, kota, provinsi), melainkan penerapan
nilai. Misalnya orang Banjar yang lama tinggal di Jawa akan terbawa budaya
Jawa. Kearifan lokal dapat berubah dalam aspek nilai, seiring kedinamisan
masyarakat dan keyakinan.
Gunawan (2012) menyatakan karakteristik kearifan lokal ialah:

  1. terbangun berdasarkan pengalaman;
  2. teruji setelah digunakan selama berabadabad;
  3. dapat disesuaikan dengan budaya sekarang;
  4. lazim dilakukan oleh individu dan masyarakat;
  5. bersifat dinamis; dan
  6. sangat terkait dengan sistem kepercayaan.

Kearifan lokal berwujud tata aturan yang menyangkut:

  1. hubungan sesama manusia, seperti perkawinan;
  2. hubungan manusia dengan alam, sebagai upaya konservasi alam, seperti hutan milik adat; dan
  3. hubungan dengan yang gaib, seperti Tuhan dan roh gaib.

 

Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, dan pepatah.
Kebudayaan Jawa penuh dengan nuansa filofofis, yang semuanya
tercermin dalam ritual, khasanah literatur, dan ajaran prinsip kehidupan
(Herusatoto, 2008). Dalam dunia akademis, kekayaan Jawa ibarat lahan yang tak
pernah habis untuk dikaji. Lumbung gagasannya amat melimpah dan mata air
yang tak kunjung kering. Maksud dari mengkaji Jawa bukan untuk menyemai
bibit primordialisme, melainkan mengukuhkan karakter, kepribadian, dan nilainilai.
Jika menurut Ki Hajar Dewantara budaya nasional merupakan puncak dari
budaya daerah, maka Jawa memiliki modal besar ke arah itu. Jawa mengajarkan
sikap hidup yang selaras dengan dunia, Tuhan dan kedekatan dengan kesadaran.
Itu semua diwujudkan dalam sikap batin yang selalu eling lan waspodo (sadar dan
waspada) akan segala tindakan-tindakannya. Sikap hidup diataslah membekali
Jawa dalam menghadapi kebudayaan luar. Tengok saja ketika Jawa menyambut
kedatangan Hindhu, Budha, Islam, dan Kristen. Jawa tidak serta bersalin-rupa dan
larut dalam arus besar, Jawa tetap njawani (men-Jawa).
Tak terkecuali juga dalam dunia pendidikan, Jawa memiliki kearifan yang
unik. Hal ini terungkap dari kata “guru” yang dalam Bahasa Jawa menurut kerata
basa atau jarwa dhosok merupakan kependekan dari digugu lan ditiru yang berarti
dianut dan dicontoh (Ranggawarsita, 1954). Oleh karena itu, untuk menjadi guru
seseorang harus memenuhi sejumlah kriteria untuk memenuhi gambaran ideal dari
masyarakat Jawa tradisional itu.

Pujangga Keraton Surakarta Ranggawarsita (1954) mengemukakan delapan kelompok sosial yang pantas menjadi guru, yakni:

  1. bangsaning awirya (orang yang berkedudukan/jabatan);
  2. bangsaning agama (para ulama ahli kitab);
  3. bangsaning atapa (para pendeta yang senang bertapa);
  4. bangsaning sujana (orang yang memiiki kelebihan dan menjadi orang baik);
  5. bangsaning aguna (para cerdik pandai yang memiliki keahlian tertentu);
  6. bangsaning prawira (prajurit yang masih memiliki ketenaran dalam olah keprajuritan);
  7. bangsaning supunya (orang kaya yang masih memiliki keberuntungan); dan
  8. bangsaning susatya (kaum petani yang rajin dan telaten).

Lebih lanjut Ranggawarsita (1954) menjelaskan seorang guru harus memiliki kemampuan dalam delapan hal, yaitu:

  1. paramasastra (memiliki kemampuan dalam bidang sastra);
  2. paramakawi (memiliki kemampuan dalam bahasa Kawi);
  3. mardibasa (mampu berbahasa dengan baik);
  4. mardawalagu (mampu membawakan lagu dengan luwes);
  5. hawicarita (memiliki kemampuan tutur/bercerita yang baik);
  6. mandraguna (memiliki keahlian dan ketrampilan);
  7. nawungkrida (cerdas dalam menangkap “tanda-tanda alam dan zaman”); dan
  8. sambegana (selalu ingat, tidak pelupa).

Terkait hubungannya dengan murid, menurut Ranggawarsita (1954) guru juga dituntut untuk:

  1. asih ing murid (asih kepada murid; dianggap sebagai anak dan cucu sendiri);
  2. telaten pamulange (telaten dalam memberikan pelajaran);
  3. lumuh ing pamrih (tidak memiliki pamrih, kecuali untuk tujuan kemajuan murid);
  4. tanggap ing sasmita (mampu menangkap keinginan murid);
  5. sepen ing panggrayangan (tidak membuat murid berprasangka);
  6. ora ambalekaken patakon (mampu memberikan jawaban);
  7. ora ngendak kagunan (tidak meremehkan murid); dan
  8. ora amburu aleman (tidak mengunggul-unggulkan kepandaiannya).

Untuk menjadi guru yang baik (utama), menurut Ranggawarsita (1954) seorang guru harus:

  1. mulus ing sarira (tidak cacat);
  2. alus ing wicara (halus dalam bertutur kata);
  3. jatmika ing solah (bersahaja dalam perilaku);
  4. antepan bebudene (memiliki kepribadian yang mantap);
  5. paramarta lelabuhane (tulus dalam pengabdian);
  6. patitis nalare (cerdas);
  7. becik labete (berkelakuan baik); dan
  8. ora duwe pakareman (tidak memiliki kesenangan yang dapat menistakan kedudukannya).

Kriteria figur guru yang tangguh dan ideal adalah sangat banyak dan
kompleks sekali. Seorang guru dimungkinkan akan dapat melaksanakan tugas
keguruannya dengan baik, manakala dalam tugas dan kehidupannya sehari-hari
menerapkan dan melaksanakan “Dasa Ma atau Dasa M” (10 M) yaitu:
a. Manembah
Seorang guru harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, beribadah menurut agama dan keyakinan yang dianutnya.

b. Momong
Seorang guru harus selalu bertindak dan bersikap ing ngarso sung tulodho,
selain membina, membimbing dan mengarahkan, juga harus memberi suri
tauladan lewat sikap dan perbuatan serta pola panutan bagi yang dipimpin. Ing
madyo mangun karsa, berada di tengah-tengah bergairah memberi semangat,
dorongan (motivasi) untuk berswakarsa dan berkreasi kepada yang dipimpinnya.
Tut wuri handayani, memberi pengaruh dan dorongan dari belakang kepada yang
dipimpin, agar berani berjalan dan tampil di depan dan sanggup serta berani
bertanggung jawab.
c. Momot
Seorang guru harus bersifat sabar dan tahan uji dalam menghadapi
masalah. Peribahasa guru bengawan weteng segoro, artinya harus mampu
menyerap informasi, petuah-petuah, kritik, dan saran yang bersifat membangun.
Bersikap lapang dada bila dicela, dan tidak menjadi tinggi hati bila disanjung.
Dengan kata lain peka terhadap aspirasi baik dari bawahan ataupun atasan. Tidak
waton maido (asal mencela), namun bila terpaksa demi perbaikan dan pembinaan
maido mowo waton (mencela dengan dasar dan memberi alternatif jalan
keluarnya).
d. Momor
Seorang guru harus mampu manjing ajer-ajer, (mampu berdaptasi) baik
dalam hubungan vertikal maupun horisontal. Ia harus terbuka terhadap suatu
perubahan dan pembaharuan, sesuai dengan perkembangan zaman (dinamis).
Namun demikian tidak boleh gegabah dan harus berhati-hati dalam menentukan
dan mengambil keputusan serta sanggup berpendapat dan bertindak secara
demokratis dalam berorientasi ke masa depan, dengan cakrawala pandang yang
tidak sempit melainkan komprehensif.
e. Mursid
Seorang guru harus landep penggraitone (tajam pemikirannya dan
berpandangan luas ke masa depan), tetapi ora cengkah karo jejering kautaman (tidak menyimpang dari budi pekerti luhur dan utama). Dengan kata lain, seorang
guru tidak boleh memiliki kepribadian tercela, baik dipandang dari segi agama,
norma maupun etika moral.
f. Murokapi
Seorang guru keberadaan dan kehadirannya benar-benar dibutuhkan dan
bermakna bagi yang dipimpin. Dengan kesadaran sepenuhnya, bahwa kedudukan,
posisi maupun jabatan yang dibebankan kepadanya benar-benar diperoleh atas
dasar penghargaan prestasi kerja. Loyalitas maupun kepercayaan dari masyarakat
atau atasannya yang berwenang, sehingga atas dasar kepercayaan yang diterima,
diharapkan dalam menjalankan tugas yang diemban akan lebih mengutamakan
kepentingan umum diatas kepentingan pribadi ataupun golongan dan dalam
mengambil keputusan ora mban cinde mban ciladan (dengan bijaksana bersikap
adil berdasarkan ketentuan atau peraturan yang berlaku).
g. Mapam
Seorang guru harus memiliki ketahanan mental dan ketahanan fisik yang
kuat. Sarananya mugen telaten ing pakaryan ora mangru tingal gebyaring
kahanan (tekun dan ulet dalam berkarya dan bekerja, serta berpendidikan teguh).
Temen lan tegen, ora mingkuh lan pakewuh, berbudi bawa leksana,
manunggaling tekad lan pakarti mangreh ing panca ndriyo, lelandesan
kawaspadan, teteken budi rahayu, pepayung ing kautaman, dimana seorang guru
harus mampu mengendalikan diri dengan sikap waspada, berbudi pekerti luhur
dan utama. Ora gumunan, ora kagetan lan ora umug, yang pengertiannya tidak
mudah terpesona, tidak mudah terkejut, tetapi tanggap terhadap hal yang baru dan
tidak menyombongkan diri.
h. Mituhu
Seorang guru harus memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Pancasila,
UUD 1945, Peraturan Perundangan yang berlaku, atasannya, tugas, dan
pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab. Dengan berjiwa legawa, ia akan
loyal dan berdedikasi tinggi terhadap tugas yang diembannya dan bila saat manakala tugas yang diemban berakhir dengan kesadaran, kemauan, kerelaan dan
ikhlas, akan menyerahkan tugas, tanggungjawab dan jabatan kepada generasi
berikutnya. Namun tidak menutup kemungkinan apabila masih merasa mampu
dan karena atas dasar kepercayaan dan keberhasilan, masih dibutuhkan tenaga dan
fikirannya, diharapkan tetap loyal dan bersedia walaupun mungkin atas dasar
pengalaman pahit dirasakan.
i. Mitayani
Seorang guru bila ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya harus dapat
dindalkan kemampuannya. Dengan strategi ambeg parama art, secara bijaksana
dapat mengambil keputusan menurut skala prioritas serta tepat dalam
menjalankan tugasnya. Dengan prinsip gemi, nastiti, surti lan ngati-ati, maka
dengan kesadaran akan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan
pengeluaran segala sesuatu kepada yang benar-benar diperlukan sesuai dengan
skala prioritas dan perencanaan yang telah dibuat.
j. Mumpuni
Seorang guru harus memiliki kemampuan lebih. Boleh jadi mungkin
kelebihan di bidang pengalaman kerja atau prestasi maupun bidang lain. Dengan
kelebihan seorang guru dituntut memiliki kemampuan prima. Untuk itu harus
cerdik, tangkas, dan cekatan dalam berolah pikir. Dengan demikian ilmu
pengetahuan yang dimiliki bukannya untuk mempersulit masalah, tetapi untuk
memecahkan suatu masalah secara realistis dan obyektif.
Selain memiliki kemampuan tadi, ia juga dituntut bersikap praktis,
tanggap, dan terampil serta dapat mengaplikasikan lingkungan kerjanya sebagai
pendukung tugas-tugas yang dilaksanakan. Dengan demikian seorang guru harus
mencerminkan tingkat kemahirannya maupun penguasaan displin ilmu yang
dimiliki. Eksistensinya, guru yang ideal harus kharismatik. Sebagai sarana adalah
ora mung rumongso biso, nanging kudu biso rumongso (jangan merasa bisa/dapat,
tetapi harus bisa/dapat merasakan). Wujud dampak positifnya, eksistensinya
sebagai guru bukan ditakuti, melainkan disegani. Kualitas prima seorang guru akan tampak menonjol, apabila dalam tugasnya ia mampu sebagai motivator yang
bersikap komunikatif, sarat dengan ide, penuh aktivitas dan kreativitas positif.
Sebagai guru yang ideal, ia juga harus mampu mengintegrasikan fungsi
administrasi, baik yang bersifat operasional. Dengan mengintegrasikan kedua
fungsi tersebut dimungkinkan antara pelaksana bidang administrasi dengan realita
dapat secara tepat dan sinkron, sehingga data yang sebenarnya benar-benar akurat
dan akan mempermudah dalam hal peningkatan. Berdasarkan uraian di atas dapat
diilustrasikan guru harus memiliki karakter seperti pada Gambar 1.
Gambar 1

jawa

Gambar 1 Karakter Guru dalam Filosofis Jawa

Guru tidak boleh meragukan dan mengejek kemampuan para siswanya,
karena hal ini dapat memengaruhi sikap guru dalam mengajar. Hal ini senada
dengan pendapat Khalifah dan Quthub (2009: 108) yang menyatakan guru tidak
boleh mengucapkan kata-kata atau sifat yang melukai hati para siswanya. Hal ini
akan menjadikan teman-temannya ikut merendahkanya baik di dalam maupun di
luar sekolah. Guru harus berusaha menyebarkan akhlak mulia kepada para
siswanya. Apabila arah yang akan dijalaninya telah jelas, telah menjadi arah
kehidupan dari setiap pribadi para siswanya, dan dari sang guru telah menjadi pribadi yang mencontohkan kesungguhan untuk mencapai kualitas hidup bersama
yang lebih baik, guru tinggal memastikan terbangunnya ketaatan pada diri setiap
siswanya kepada tuntunan baku yang telah ditetapkannya sebagai koridor menuju
masa depan yang lebih cemerlang. Itulah hakikat guru.
2. Mengembangkan Kepribadian Siswa
Karakter merupakan sifat yang melekat pada setiap manusia, sebagai
faktor penentu seseorang untuk bersikap dan bertingkah laku, dengan dipengaruhi
oleh situasi, kondisi, dan yang dirasakan dalam hati seseorang. Karakter lebih
dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau melakukan
perbuatan yang menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu
dipikirkan lagi. Wynne berpendapat karakter merupakan nilai kebaikan dalam
bentuk tingkah laku (Zuhdi, 2009:10). Sementara itu Kamus Bahasa Indonesia
(2008:639) mengartikan karakter sebagai tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Sedangkan
Kemendiknas (2010) menyatakan karakter sebagai suatu moral excellence atau
akhlak dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya
memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya
(bangsa).
Pendidikan karakter memiliki makna yang luas daripada pendidikan moral,
karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi
lebih dari itu. Pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik,
sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik
dan mana yang buruk, mampu merasakan dan menghayati (domain afektif) nilai
baik, dan biasa melakukannya (domain psikomotorik). Hal senada dikemukakan
oleh Lickona (1992) yang berpendapat adanya moral absolute, yang harus
diajarkan kepada generasi muda, agar mereka memahami dan melakukan mana
yang baik dan menjauhi yang buruk. Lebih lanjut Lickona tidak sependapat
dengan cara pendidikan moral reasoning dan value clarification yang diajarkan di
Amerika Serikat, karena sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang
bersifat absolut yang bersumber dari ajaran agama-agama di dunia yang disebut
dengan the golden rule. Nilai moral tersebut seperti: saling menghormati, jujur, bersahaja, saling menolong, adil, dan bertanggung jawab. Sedangkan Wynne
berpendapat karakter merupakan nilai kebaikan dalam bentuk tingkah laku
(Zuhdi, 2009:10).
Karakter apa yang harus ditanamkan kepada siswa? Terdapat delapan
karakter (Gambar 2) yang dapat dikaitkan dalam kegiatan pembelajaran, yakni:
(1) cinta Allah dan Rasul; (2) cinta orangtua dan guru; (3) cinta sesama; (4) cinta
keunggulan; (5) cinta diri sendiri; (6) cinta ilmu pengetahuan dan teknologi; (7)
cinta alam sekitar; dan (8) cinta bangsa dan negara. Sehingga peserta didik akan
menjadi orang yang penuh dengan cinta. Guru dapat memilih karakter yang dapat
diimplementasikan dan dikembangkan dalam pembelajaran di kelas atau di
lingkungan sekolah. Guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan,
dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik.

jawa1

Gambar 2 Cinta 360 Derajat

Tahapan pendidikan karakter meliputi: (1) trustworthiness, usia 4 s.d. 6
tahun, membangun dan menumbuhkan sikap percaya; (2) responsibility, usia 6
s.d. 9 tahun, penanaman sikap disiplin dan tanggung jawab terhadap pilihan yang
dipilih; (3) respect, usia 9 s.d. 11 tahun, memperlakukan orang lain sebagaimana
diri sendiri ingin diperlakukan; (4) fairness, usia 11 s.d. 13 tahun, mengikuti
aturan, tidak berprasangka buruk, tidak mudah menyalahkan orang lain; (5)
caring, usia 13 s.d. 17 tahun, ditanamkan sejak remaja, yakni ramah, peduli orang lain, memaafkan, dan membantu mereka yang memerlukan; dan (6) citizenship,
usia 18 tahun ke atas, tahapan mulai dewasa, warga negara yang baik,
bertanggung jawab, demokrasi, berperan membangun komunitas, bekerja sama,
dan mematuhi hukum. Sedangkan proses pendidikan karakter seperti Gambar 3.

jawa2

Gambar 3 Proses Pendidikan Karakter

Berdasarkan Gambar 3, karakter pada dasarnya ada dalam diri setiap
manusia. Karakter pada manusia dikreasikan dan ditambahkan dengan nilai-nilai
(created). Setelah itu direkatkan, diinternalisasi, dan terdapat pembiasaan dalam
bertingkah laku seseorang (embedded). Karakter setelah diinternalisasi,
dikembangkan lagi (developed), hal ini terkait kedinamisan budaya. Karakter yang
terbentuk dan baik dipelihara (ultimately manipulated), dipertahankan
keberadaannya. Karakter yang telah terbentuk tersebut diarahkan (managed),
menjadi sebuah nilai budaya. Proses tidak pernah selesai, dan begitu seterusnya.
Guru menjadi role model dari nilai-nilai karakter yang diharapkan. Nilainilai
tersebut berintegrasi dalam mata pelajaran, antarpelajaran, dan kurikulum,
sehingga tidak harus diajarkan dalam mata pelajaran tersendiri. Proses ini harus
menjadi daya tarik dan membangkitkan rasa ingin tahu siswa. Guru menjadi
inspirasi, pembelajaran harus menyenangkan, penguatan isi, dan metode yang
mencerahkan siswa. Interaksi yang terjadi antara guru dan siswa ialah interaksi
edukatif, dialogis, dengan prinsip-prinsip demokrasi, kesetaraan, keberagaman,
dan penghargaan. Nilai-nilai dasar kemanusiaan sebagai inti pendidikan karakter
dibangkitkan, ditanamkan, dipelihara, dan direfleksikan melalui sikap, pemikiran,
dan perilaku, sehingga menjadi budaya kehidupan sehari-hari.

3. Peran Guru dalam Pembentukan Karakter Siswa
Guru dewasa ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama
untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi dinamika perubahan yang
berkembang dengan pesat. Perubahan yang terjadi tidak saja berkaitan dengan
perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan juga menyentuh
tentang pergeseran aspek nilai dan moral dalam kehidupan bermasyarakat. Guru
saat ini memiliki peran sangat besar pembentukan karakter siswa. Peran guru
tidak sekedar sebagai pengajar semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan
pendidik karakter, moral dan budaya bagi siswanya. Guru haruslah menjadi
teladan, seorang model sekaligus mentor dari siswa di dalam mewujudkan
perilaku yang berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati dan olah rasa.
Masyarakat masih berharap para guru dapat menampilkan perilaku yang
mencerminkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, dan mematuhi kode
etik profesional. Guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran
yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab.
Penanaman dan pengembangan pendidikan karakter di sekolah menjadi
tanggung jawab bersama. Pendidikan karakter dapat dintegrasikan dalam
pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Setiap mata pelajaran yang berkaitan
dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan,
dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Pembelajaran
nilai-nilai karakter ini tidak berhenti pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
tataran internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan anak didik seharihari
di masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara,
“Tringa” yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni, mengingatkan terhadap
segala ajaran, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan
kesungguhan dalam pelaksanaanya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau
tidak merasakan, menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan
tidak memperjuangkan. Diibaratkan ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang
tidak berbuah.
Kegiatan pendidikan dan pembelajaran adalah proses kegiatan interaksi
guru dengan siswa. Guru berperan sebagai model pengembang karakter dengan membuat penilaian dan keputusan profesional yang didasarkan pada kebajikan
sosial dan moral. Setiap siswa mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh
atau model, teladan baginya. Hubungan antara guru dan siswa, harus dilandasi
cinta kasih, saling percaya, jauh dari sifat otoriter dan situasi yang memanjakan.
Siswa bukan hanya objek, tetapi juga dalam kurun waktu yang bersamaan
sekaligus menjadi subjek. Konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai tut
wurihandayani sebagai semboyan metode among. Sistem Among yaitu cara
pendidikan yang dipakai dalam Tamansiswa, mengemong (siswa) berarti memberi
kebebasan siswa bergerak menurut kemauannya, tetapi pamong/guru akan
bertindak, kalau perlu dengan paksaan apabila keinginan siswa membahayakan
keselamatannya. Guru atau pamong wajib mengasuh anak didiknya, mengasah
kodrati secara alamiah.
Yoesoef menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok
yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (Wardani,
2010). Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau tramisi
ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum
diketahui peserta didik dan seharusnya diketahui oleh peserta didik. Tugas
manusiawi adalah tugas-tugas membantu peserta didik agar dapat memenuhi
tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas
manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian
tentang diri sendiri. Guru seharusnya dengan pendidikan mampu membantu anak
didik untuk mengembangkan daya pikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga
mampu untuk turut secara kreatif dalam proses tranformasi kebudayaan ke arah
keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di
mana dia hidup. Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai
warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan Pancasila dan UUD
1945.
Berkaitan dengan tiga tugas tersebut dengan pendidikan karakter, budaya,
dan moral bagi bangsa Indonesia, secara prinsip sudah ditetapkan baik dalam
Undang-undang Dasar 1945 maupun dalam Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (1) peningkatan iman dan takwa; (2) peningkatan akhlak mulia; (3) peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; (4) keragaman potensi daerah dan
lingkungan; (5) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (6) tuntutan dunia
kerja; (7) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; (8) dinamika
perkembangan global; dan (9) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Sekolah merupakan wahana pengembang pendidikan karakter memiliki
peranan yang sangat penting. Guru dan pendidik mempunyai tanggung jawab
yang sangat besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan
bermoral. Guru merupakan teladan bagi siswa dan mempunyai peran yang sangat
besar dalam pembentukan karakter siswa. Undang-undang Nomor 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru sebagai pendidik professional
mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini,
pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dengan demikian semakin jelas bahwa peran guru dalam dunia pendidikan
sekarang ini semakin meningkat, kompleks, dan berat. Sisi lain memberikan
wacana bahwa guru bukan hanya pendidik akademis, tetapi juga pendidik
karakter, pendidik budaya, dan pendidik moral bagi para peserta didiknya.
C. Penutup
Kebudayaan Jawa penuh dengan nuansa filofofis, yang semuanya
tercermin dalam ritual, khasanah literatur, dan ajaran prinsip kehidupan. Guru
yang dalam Bahasa Jawa menurut kerata basa atau jarwa dhosok merupakan
kependekan dari digugu lan ditiru yang berarti dianut dan dicontoh. Seorang guru
dimungkinkan akan dapat melaksanakan tugas keguruannya dengan baik,
manakala dalam tugas dan kehidupannya sehari-hari menerapkan dan
melaksanakan Dasa Ma atau Dasa M (10 M) yaitu: manembah; momong; momot;
momor; mursid; murokapi; mapam; mituhu; mitayani; dan mumpuni. Karakter
yang harus ditanamkan kepada siswa oleh guru dalam pembelajaran, yakni: cinta
Allah dan Rasul; cinta orangtua dan guru; cinta sesama; cinta keunggulan; cinta
diri sendiri; cinta ilmu pengetahuan dan teknologi; cinta alam sekitar; dan cinta
bangsa dan negara.

 

DAFTAR RUJUKAN
Gunawan, I. 2011. Merekonstruksi Fitrah Pendidikan. Komunikasi, Majalah
Kampus Universitas Negeri Malang Tahun 33 Nomor 276 September –
Oktober 2011, hlm. 32.
Gunawan, I. 2012. Mengembangkan Karakter Bangsa Berdasarkan Kearifan
Lokal. Makalah disajikan dalam Call for Paper, Seminar Nasional Meretas
Sekolah Humanis untuk Mendesain Siswa Sekolah Dasar yang Cerdas dan
Berkarakter, Prodi PGSD FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta, 6 Mei.
Herusatoto, B. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
Jakarta: Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan,
Kemendiknas.
Khalifah, M., dan Quthub, U. Tanpa tahun. Menjadi Guru yang Dirindu.
Terjemahan oleh Muhadi Kadi dan Kusrin Karyadi. 2009. Surakarta:
Ziyad Books.
Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Schools can Teach Respect
and Responsibility. New York: Bantam Book Company.
Ranggawarsita, R. N. 1954. Wirid Hidajat-Djati. Terjemahan oleh R. Manojo.
Surabaya: Trimurti.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (online). (www.indonesia.go.id,
diakses 26 Januari 2009).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. 2006. Bandung: Fokus Media.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 2006. Bandung: Fokus Media.
Wardani, K. 2010. Peran Guru dalam Pendidikan Karakter menurut Konsep
Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Proceedings of The 4th International
Conference on Teacher Education, Join Conference UPI & UPSI Bandung,
Indonesia, PGSD FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Yogyakarta, 8 s.d. 10 November.
Zuhdi, D. 2009. Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilai-nilai Target.
Yogyakarta: UNY Press.

 

(ditulis : Imam Gunawan : Lecture IKIP PGRI MADIUN)

 

Tinggalkan komentar